HAMPIR tiap kota di Jawa memiliki apa yang diistilahkan sebagai alun-alun. Lazimnya, alun-alun dikelilingi oleh gedung pusat pemerintahan yang biasanya berada di sisi utara atau selatan dan di sisi baratnya terletak sebuah bangunan mesjid.
Sebagai sebuah ruang publik, alun-alun adalah sebuah tempat yang nirsekat di mana warga masyarakat dari beragam lapisan sosial bisa berinteraksi dengan bebas, akrab, tanpa jarak. Idelanya, alun-alun ini bisa menjadi semacam jembatan interaksi antara pengelola kota dan para warganya.
Sejarah mencatat, Alun-alun Bandung dibangun sekitar tahun 1900-an. Di masa lalu, kawasan Alun-alun Bandung ini merupakan tempat aneka kegiatan masyarakat. Berbagai aktivitas dari mulai tempat rekreasi cuci-mata hingga tempat jajan serba ada berpusat di Alun-alun Bandung.
Terkait dengan suasana alun-alun sebagai tempat rekreasi dan cuci mata, komedian Suryana Fatah sempat mendeskripsikannya lewat sebuah lagu berbahasa Sunda bertajuk "Alung-alung". Lagu bernuansa jenaka yang dirilis tahun 1978 ini mengisahkan bagaimana seorang warga keturunan Tionghoa berjalan-jalan ke kawasan Alun-alun Bandung. Sebagian liriknya lagunya sebagai berikut.
Oweh tumpak weca kaliling-liling (Saya naik becak berkeliling)
Jalana watut tuluy ka alung-alung (Jalannya jelek hingga terus ke alun-alun)
Di alung-alung aya kantol polisi (Di alun-alun ada kantor polisi)
Kantol polisi nyaeta hiji (Kantor polisinya satu)
Nenjo aceuk-aceuk jeung akang-akang (Menyaksikan perempuan dewasa dan laki-laki dewasa)
Di alung-alung bali pakaleng-kaleng (Di alun-alun sedang berangkulan mesra)
Matak kabita meuleun ngeunah kacida (Barangkali sangat menyenangkan membuat saya kepingin seperti mereka)
Oweh jadi kawita wetah di alung-alung (Selain kepingin seperti mereka, saya merasa kerasan berada di alun-alun)
Sebagian warga Kota Bandung barangkali masih ingat bagaimana di tahun-tahun tujuhpuluhan hingga awal tahun delapanpuluhan, Alun-alun Bandung ini biasa menjadi arena unjuk kabisa para tukang sulap dan tukang obat. Para tukang sulap dan tukang obat kerap memamerkan kebolehannya di Alun-alun Bandung. Atraksi mereka menjadi hiburan sekaligus daya tarik tersendiri bagi warga masyarakat yang dolan-dolan ke Alun-alun Bandung.
Terdapat empat buah jalan yang mengelilingi Alun-alun Bandung di masa lalu. Di sebelah barat, terdapat Jalan Alun-alun Barat, persis berada di depan Mesjid Raya Bandung. Di sebelah selatan, ada Jalan Dalem Kaum. Di utara, ada Jalan Asia-Afrika dan di sebelah timur, ada Jalan Alun-alun Timur.
Khusus menyangkut Jalan Alun-alun Barat yang beraspal halus mulus dan berada tepat di depan Mesjid Raya Bandung itu, dulu saban Ahad pagi, tatkala suasana lalu-lintas masih sangat sepi, sering dimanfaatkan oleh anak-anak untuk ajang bermain sepakbola. Jika ada angkot atau kendaraan roda empat lainnya yang melewati jalan tersebut, mereka harus berhenti sejenak. Setelah itu, mereka melanjutkan permainan sepakbola mereka di jalan itu penuh dengan keceriaan.
Sehabis bermain sepakbola, mereka melepas lelah dengan beristirahat di taman alun-alun sembari menikmati minuman dan makanan yang dijual oleh para pedagang minuman dan makanan yang berjualan di sana. Semenjak halaman Mesjid Raya Bandung diperluas, Jalan Alun-alun Barat telah benar-benar lenyap tidak bersisa.
Para tukang sulap, tukang obat, -- bahkan tukang ramal garis tangan dan tukang lotere -- yang dulu bisa kita jumpai berada di sudut Alun-alun Bandung dan bercengkrama dengan para warga juga tidak kelihatan lagi batang hidungnya.(jok)
Sebagai sebuah ruang publik, alun-alun adalah sebuah tempat yang nirsekat di mana warga masyarakat dari beragam lapisan sosial bisa berinteraksi dengan bebas, akrab, tanpa jarak. Idelanya, alun-alun ini bisa menjadi semacam jembatan interaksi antara pengelola kota dan para warganya.
Terkait dengan suasana alun-alun sebagai tempat rekreasi dan cuci mata, komedian Suryana Fatah sempat mendeskripsikannya lewat sebuah lagu berbahasa Sunda bertajuk "Alung-alung". Lagu bernuansa jenaka yang dirilis tahun 1978 ini mengisahkan bagaimana seorang warga keturunan Tionghoa berjalan-jalan ke kawasan Alun-alun Bandung. Sebagian liriknya lagunya sebagai berikut.
Oweh tumpak weca kaliling-liling (Saya naik becak berkeliling)
Jalana watut tuluy ka alung-alung (Jalannya jelek hingga terus ke alun-alun)
Di alung-alung aya kantol polisi (Di alun-alun ada kantor polisi)
Kantol polisi nyaeta hiji (Kantor polisinya satu)
Nenjo aceuk-aceuk jeung akang-akang (Menyaksikan perempuan dewasa dan laki-laki dewasa)
Di alung-alung bali pakaleng-kaleng (Di alun-alun sedang berangkulan mesra)
Matak kabita meuleun ngeunah kacida (Barangkali sangat menyenangkan membuat saya kepingin seperti mereka)
Oweh jadi kawita wetah di alung-alung (Selain kepingin seperti mereka, saya merasa kerasan berada di alun-alun)
Terdapat empat buah jalan yang mengelilingi Alun-alun Bandung di masa lalu. Di sebelah barat, terdapat Jalan Alun-alun Barat, persis berada di depan Mesjid Raya Bandung. Di sebelah selatan, ada Jalan Dalem Kaum. Di utara, ada Jalan Asia-Afrika dan di sebelah timur, ada Jalan Alun-alun Timur.
Khusus menyangkut Jalan Alun-alun Barat yang beraspal halus mulus dan berada tepat di depan Mesjid Raya Bandung itu, dulu saban Ahad pagi, tatkala suasana lalu-lintas masih sangat sepi, sering dimanfaatkan oleh anak-anak untuk ajang bermain sepakbola. Jika ada angkot atau kendaraan roda empat lainnya yang melewati jalan tersebut, mereka harus berhenti sejenak. Setelah itu, mereka melanjutkan permainan sepakbola mereka di jalan itu penuh dengan keceriaan.
Sehabis bermain sepakbola, mereka melepas lelah dengan beristirahat di taman alun-alun sembari menikmati minuman dan makanan yang dijual oleh para pedagang minuman dan makanan yang berjualan di sana. Semenjak halaman Mesjid Raya Bandung diperluas, Jalan Alun-alun Barat telah benar-benar lenyap tidak bersisa.
Para tukang sulap, tukang obat, -- bahkan tukang ramal garis tangan dan tukang lotere -- yang dulu bisa kita jumpai berada di sudut Alun-alun Bandung dan bercengkrama dengan para warga juga tidak kelihatan lagi batang hidungnya.(jok)

Komentar
Posting Komentar